PKS

[PKS][twocolumns]

business

PKS Untuk Semua

"PKS untuk semua itulah semboyan yang diusung oleh PKS dalam Munas ke II yang berlangsung di Hotel Ritz Carlton. Hal itu diutarakan Sekretaris Jenderal PKS, Anis Matta dalam konferensi pers Musyawarah Nasional PKS di Hotel Ritz Carlton, Pasific Place, Jakarta, Rabu (16/6). Anis menambahkan, PKS ingin keluar dari perbedaan antara partai Islam dan nasionalis. Sebab, hal tersebut tidak akan bisa membawa PKS menjadi partai yang diperhitungkan lagi. Bahkan cita-cita untuk menjadi partai yang masuk 3 besar dalam Pemilu 2014 akan sulit tercapai.


“PKS masuk pada domain wacana kebangsaan yang lebih strategis,” ujar Anis, (metrotvnews.com/Rabu, 16 Juni 2010 22:02 WIB)
Dengan kalimat tersebut, berarti PKS semakin menegaskan bahwa partai tersebut semakin membuka diri secara terbuka bagi siapa saja yang ingin menjadi bagian dari partai yang mengaku partai dakwah tersebut, dalam hal ini tentu saja bagi non muslim pun memiliki kesempatan untuk masuk dan menjadi kader ataupun pengurus di partai tersebut. Memang, dalam rapat di dalam majelis syura’ PKS sempat berjalan cukup alot, dikarenakan adanya anggota majelis syura yang merasa keberatan dengan usulan agar non muslim menjadi pengurus di PKS.
Mereka khawatir, pembukaan ruang bagi kalangan non-Muslim akan berimbas terhadap basis massa PKS yang berasal dari kalangan Muslim. ”Mereka hanya ingin berhati-hati saja. Tapi, setelah dijelaskan bahwa Islam bersifat terbuka dan berorientasi untuk mendatangkan kemaslahatan umat, semua anggota Majelis Syura akhirnya sepakat,” ujar Mahfudz Shiddiq.
Walaupun memang PKS membagi keanggotaan PKS menjadi 2, yakni KADER dan ANGGOTA.
Kader adalah anggota yang terikat penuh dengan AD/ART partai dan terikat penuh dengan sistem kaderisasi yang berbasis keislaman.
Anggota adalah semua warga negara Indonesia yang terikat penuh kepada organisasi. Anggota bersifat lebih umum dan terbuka bagi siapa pun dari golongan serta agama apa pun.
Namun yang perlu dipahami bahwa, walaupun mereka tidak menjadi kader, bukan berarti mereka tidak bisa menjadi pengurus, karena dengan hal tersebut malah PKS semakin membuka diri akan non Muslim yang ingin menjadi pengurus di PKS yang nantinya akan menjadi anggota dewan terutama di daerah indonesia bagian timur, khususnya di Papua, dimana ada sekitar 20 anggota legislatif yang berasal dari PKS di Propinsi tersebut.
Padahal di dalam Islam ada larangan untuk mencalonkan mereka menduduki jabatan-jabatan yang bisa digunakan oleh kaum kafir untuk menguasai kaum muslim.

“Siapa saja diantara kalian mengambil mereka (orang-orang kafir) sebagai wali, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim.” (Qs. al-Mâ’idah [5]: 51).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah untuk menyiksa kalian?” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 144).
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang diluar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu.” (Qs. Ali-‘Imran [3]: 118).
Yang saya fahami bahwa salah satu ayat yang dijadikan landasan berdirnya PK dulu sebelum berubah menjadi PKS adalah surat ali Imron 104 yang berbunyi : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan (Islam), menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS Ali ‘Imran [3] : 104).
Pada ayat tersebut dapat kita tarik tiga hal, pertama yakni adanya ajakan untuk mendakwahkan islam, kalimat ” hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan” kata khair itu dimaknai dengan kata Islam yang berari mengajak kepada islam. Bagaimana mungkin sebuah partai dakwah yang tugasnya adalah untuk mengajak kepada Islam namun malah menjadikan non muslim sebagai anggota pada partai tersebut.
Yang kedua adalah aktivitas amar makruf atau menyeru kepada yang makruf, apa itu yang makruf? Adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan rasulNya untuk dikerjakan.
Yang ketiga adalah aktivitas nahi mungkar, yakni mencegah dari yang mungkar. Apa itu yang mungkar? adalah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah dan RasulNya untuk ditinggalkan.
Kemudian berkaitan dengan ayat di atas, Syaikh Abdul Hamid Al-Ja’bah dalam kitabnya Al-Ahzab fi Al-Islam berkata :Maka kata “minkum” [di antara kamu] pada ayat di atas melarang sebuah kelompok atau partai dari [keanggotaan] orang-orang non Islam, dan membatasi keanggotaannya pada orang-orang muslim saja.” (S`yaikh Abdul Hamid Al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120).
Pendapat yang sama juga akan kita temui jika kita membuka kitab Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah atau buku RUU Parpol dalam Negara Khilafah yang ditulis oleh Syaikh Ziyad Ghazzal, beliau berkata dalam buku tersebut,
“Anggota partai Islam haruslah seorang muslim, sebab partai politik Islam bertujuan untuk melakukan aktivitas politik Islam secara umum, tanpa pengkhususan. Sebab partai politik Islam tugasnya adalah melakukan kritik terhadap hukum-hukum syara’ yang diadopsi oleh khalifah dan para pembantunya, melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap mereka, meluruskan penyimpangan mereka jika mereka menyimpang dari syara’, dan mengangkat senjata di hadapan khalifah jika khalifah menampakkan kekufuran yang nyata, serta aktivitas-aktivitas politik lainnya. Jadi partai politik [Islam] bertujuan melakukan aktivitas politik Islam secara umum. Dan ini, mengharuskan angggota-anggotanya dari kalangan kaum muslimin, sebab karakter partai-partai politik Islam dan aktivitasnya telah mewajibkan hal itu [keislaman anggotanya].” (Syaikh Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, [T.tp. : Dar Al-Wadhaah li An-Nasyr, 2003], hal. 46)
Sebuah karakter umat islam adalah selalu melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar, bagaimana mungkin ada partai yang mengaku partai islam, namun ada anggotanya yang bukan beragama Islam, lantas apakah bisa partai tersebut melakukan amar makruf nahi mungkar? keislaman anggota parpol Islam adalah suatu kewajiban, karena merupakan tuntutan yang muncul dari karakter dan aktivitas parpol Islam. Karena aktivitas parpol Islam adalah melakukan amar ma’ruf nahi munkar.
Banyak ayat al-Qur`an telah memastikan, bahwa amar ma’ruf nahi munkar ini adalah karakter khas umat Islam, bukan umat non-Islam. Contohnya firman Allah SWT
“Kamu [umat Islam] adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali ‘Imran [3] : 110)
Banyak ayat lain yang menerangkan, bahwa amar ma’ruf nahi munkar adalah ciri khas umat Islam, bukan umat non Islam. Misalnya QS Ali ‘Imran : 114, QS Al-A’raaf : 157, QS At-Taubah : 71, dan QS At-Taubah : 112. Sebaliknya, orang non Islam, khususnya Yahudi, tidak saling melarang berbuat munkar (QS Al-Ma`idah : 78-79), dan orang munafik bahkan menyuruh yang munkar dan mencegah dari yang ma’ruf (QS At-Taubah : 67). Jadi aktivitas amar ma’ruf dan nahi munkar tidaklah akan mampu dipikul, kecuali oleh umat Islam.
Namun, ada juga sebagian kalangan yang menjadikan piagam madinah sebagai pembenaran atas aktivitas menjadikan non muslim sebagai anggota di dalam tubuh partai Islam dengan alasan yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw pernah memasukkan orang kafir dalam piagam Madinah. Dengan demikian, keterwakilan orang kafir dalam hal aspirasi telah diakui oleh Rasulullah Saw. Selanjutnya, berdasarkan piagam Madinah ini disimpulkan bahwa sebuah partai boleh mencalonkan orang kafir sebagai caleg mereka.
Jawab atas argumentasi ini adalah sebagai berikut:
  • Pertama, konteks Rasulullah Saw ketika menetapkan piagam Madinah adalah sebagai kepala negara, bukan sebagai pemimpin sebuah partai, atau gerakan. Walhasil, tidak benar jika kita menganalogkan sebuah hukum, yang faktanya berbeda. Fakta pemimpin negara berbeda dengan pemimpin sebuah partai. Apakah kita akan menyatakan bahwa seorang pemimpin partai boleh merajam pelaku zina, hanya gara-gara Rasulullah Saw juga pernah menjatuhkan sanksi rajam kepada seorang pazina muhshon. Tentunya, kita tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada pezina muhson tersebut. Sebab, konteks Rasulullah Saw ketika menjatuhkan sanksi harus dilihat bahwa beliau sebagai seorang kepala negara, bukan sebuah pemimpin gerakan. Walhasil, piagam Madinah tidak bisa dijadikan sebagai dalil untuk membolehkan sebuah partai mencalonkan orang kafir sebagai wakil rakyat. Sebab, konteks yang ditunjuk oleh peristiwa itu (piagam Madinah) adalah negara, bukan partai. Jadi, bila piagam Madinah —konteksnya adalah negara— diqiyaskan dengan partai, maka ini tidak dibenarkan secara ushul, sebab konteks perbincangannya berbeda.
  • Kedua, argumentasi jika penduduk muslimnya sedikit, maka seorang kafir boleh dicalonkan sebagai caleg, sedangkan jika penduduk muslimnya banyak, kaum kafir tidak boleh dijadikan sebagai caleg, adalah argumentasi yang tidak didukung sama sekali oleh dalil, bahkan tidak memiliki ada dalilnya sama sekali. Sebab, keharaman memberikan wala’ kepada kaum kafir tidak didasarkan pada sedikit atau banyaknya jumlah kaum muslim. Buktinya, ketika jumlah kaum muslim di Quraisy masih sangat sedikit, beliau saw menolak tawaran kekuasaan dari orang-orang Quraisy.
  • Ketiga, untuk menetapkan status hokum boleh atau tidaknya seorang muslim menjadikan orang kafir sebagai caleg, juga tidak boleh dikaitkan dengan, ”Apakah mereka mendatangi, dan meminta dicalonkan sendiri, atau tidak.” Atau, “Mereka hanya menjadi caleg DPRD atau tidak.” Sebab, pertimbangan semacam ini bukanlah dalil syara’. Jika kaum kafir dilarang menjadi penguasa, atau caleg, maka walaupun mereka meminta sendiri hukumnya tetap haram, tidak berubah.
  • Secara teknis, ketika partai Islam telah menempatkan kaum kafir sebagai caleg, berarti bukan individu kafir itu yang mencalonkan dirinya sebagai caleg, akan tetapi partai itu sendiri. Walaupun proses awalnya, orang kafir itu yang memohon sendiri. Ketika seseorang telah menjadi caleg Partai Islam X, maknanya, orang tersebut telah dipilih dan dicalonkan oleh Partai Islam X untuk menjadi anggota legislative, bukan orang itu mencalonkan dirinya sendiri untuk menjadi caleg. Sebab, orang itu tidak bisa disebut caleg Partai Islam X jika tidak dicalonkan oleh Partai Islam X sendiri.
  • Keempat, benar dalam pandangan Islam, seorang kafir boleh menjadi anggota majelis ummat. Akan tetapi, mereka hanya memiliki hak untuk melaporkan keburukan-keburukan pelaksanaan syariat Islam, serta kedzaliman dan penyimpangan yang dilakukan oleh penguasa Islam. Sedangkan untuk memberikan aspirasi dalam hal membuat hokum, dan aturan mereka sama sekali tidak boleh dilibatkan. Namun demikian, majelis umat adalah representasi dari organ sebuah negara, bukan organ sebuah partai atau gerakan. Partai politik Islam didesain untuk memperjuangkan hukum-hukum Islam, dan mengubah masyarakat sejalan dengan ‘aqidah Islam. Oleh karena itu, anggota partai politik harus memiliki ‘aqidah Islam, alias muslim. Dengan kata lain, partai politik Islam tidak boleh beranggotakan orang-orang kafir. Sebab, bagaimana mereka bisa mengubah system yang tidak Islamiy menjadi system yang Islamiy, sementara itu mereka tidak memiliki ‘aqidah Islam?
Tatkala, sebuah partai Islam mengangkat orang kafir menjadi caleg (calon legislative), sama artinya partai tersebut telah mengangkat orang kafir menjadi anggota gerakannya. Padahal, keanggotaan orang kafir dalam sebuah gerakan adalah tindakan bid’ah yang menyimpang dari tuntunan agama yang lurus.
Wallahu’alam bis showab.
Adi Victoria
al_ikhwan1924@yahoo.com
al_ikhwan1924@halqoh-online.com
Rujukan :
Khilafah1924.org (partai islam menerima anggota non muslim?
].” (Syaikh Ziyad Ghazzal, Masyru’ Qanun Al-Ahzab fi Daulah Al-Khilafah, [T.tp. : Dar Al-Wadhaah li An-Nasyr, 2003], hal. 46)
(S`yaikh Abdul Hamid Al-Ja’bah, Al-Ahzab fi Al-Islam, hal. 120).
Kompas.com [MUNAS II, Keterbukaan ala PKS, 2010-06-18]
Post A Comment
  • Blogger Comment using Blogger
  • Facebook Comment using Facebook
  • Disqus Comment using Disqus

No comments :


three columns

cars

grids

health